Warta

Mad Distro, Distributor Merch Underground Era 2000 (2-Habis)

Mad Distro pernah mengorganisir gigs legendaris “Samarinda Bergerak” di rentang waktu 2003 hingga 2004. Band-band lokal dengan pelbagai genre musik underground kala itu bergantian tampil, dari siang hingga sore.

SATU diantaranya boleh disebut sangat bersejarah. Dibantu rekan-rekannya di tongkrongan, Mad Distro melakukan live record di Auditorium Universitas Mulawarman. Saat itu, komputer masih berbentuk seperti televisi tabung 21 inch dengan layar cembung.

Momen itu terjadi sekira 18 tahun lalu. Puluhan band yang tampil tak hanya dari Kota Samarinda. Tetapi juga dari Kota Balikpapan, Kota Tenggarong, Kota Bontang, hingga Kota Banjarmasin. Hasil rekaman live itu rencananya akan dibuat album kompilasi. Sayang, mimpi itu berakhir berantakan. Hasil rekaman tak sesuai. Hanya segelintir band yang rekamannya baik. Meski gagal, rekaman itu tetap disimpan sebagai kenangan.

Ini merupakan bagian kedua sekaligus sesi terakhir wawancara DEKADE.ID kepada Achmad Zulkarnaen a.k.a. Mad Lori a.k.a. Mad HC a.k.a. Mad Distro, beberapa waktu lalu mengenai sejarah gigs skena underground di Kota Samarinda.

Soal gigs, kamu kan salah satu sosok yang berperan besar tuh atas terselenggaranya gigs “Samarinda Bergerak” di Auditorium Unmul sejak 2003. Prosesnya gimana tuh, kan dulu serba ribet…
Seingat saya, setelah gigs “Anti Penindasan I” pertama (cikal bakal gigs “Samarinda Bergerak“, malam Tahun Baru 2003, Red.), teman-teman di United Freedom (tongkrongan di parkiran Mal Lembuswana, Red.) sepakat pengin meneruskan gigs underground di Samarinda. Saya kemudian dibantu beberapa teman yang sefrekuensi (seide dan sepaham, Red.) untuk fokus pada proses kerjanya. Tapi kami juga minta pendapat dari teman-teman lain di tongkrongan, jadi bukan hanya kami saja. Dari beberapa teman ini ternyata punya hubungan yang intens dengan aktivis-aktivis di Unmul (Universitas Mulawarman, Red.). Akhirnya gigs bisa berjalan karena kerjasama United Freedom dan aktivis-aktivis itu. Mereka bahkan menfasilitasi lokasi gigs, listrik, sampai perizinan. Jadi sebenarnya gigs ini bagian dari kegiatan mereka juga.

Soal alat-alat band, biasanya kami sewa. Sebagian juga ada yang pinjam sama teman di tongkrongan. Sebenarnya, aktivis-aktivis Unmul itu tidak cuma berperan saat gigs “Samarinda Bergerak” saja. Gigs “Anti Penindasan II” dan “Anti Penindasan III” di Auditorium Unmul mereka juga sudah berperan. Ya, awalnya memang ribet. Tapi terbiasa kemudian. Kalau pendapat saya, konsep “Samarinda Bergerak” mungkin berbeda dengan konsep di gigs “Anti Penindasan”. Tapi saya ikut bantu di dua gigs itu. Di gigs “Samarinda Bergerak” kami selalu berusaha untuk tetap di jalur DIY (Do It Yourself, Red.) tanpa melibatkan sponsor apalagi korporasi. Ini benar-benar kolektif dari teman-teman di skena.

Mulai dari patungan band yang tampil sampai sumbangan perorangan. Kalau kolektif dari teman-teman yang punya usaha seperti distro, masih dipertimbangkan untuk ikut. Tapi itu tidak pernah terjadi dulu. Kami juga pakai tiketing dengan harga terjangkau saat itu. Murah meriah pokoknya. Segala biaya disesuaikan untuk cukup. Misalnya biaya sewa alat. Biasanya dihitung dulu dari jumlah band yang main, dana kolektif yang tersimpan, dan jumlah penonton yang diperkirakan akan datang. Dari situ nanti yang menetukan alat yang disewa baik atau buruk kualitasnya. Ya, di momen ini, saya juga mau minta maaf kepada teman-teman yang berpartisipasi dulu karena enggak bisa menyewa alat yang bagus, yang sesuai harapan teman-teman. Karena danyanya sangat pas-pasan.

Selain itu juga, secara teknis, durasi tiap band yang tampil kami beri jatah. Kami usahakan sesuai agar semua band bisa tampil. Makanya saya minta maaf kalau dulu waktu tampilnya jadi ada yang enggak puas karena sebentar. Masalah ini sebenarnya berkaitan dengan waktu yang diberikan untuk menggunakan auditorium. Karena kalau malam eggak boleh. Cuma dari siang sampai sore saja. Masalahnya ada di keamanan dan tentunya dulu di Unmul kalau malam sepi.

Kenapa pilih nama gigs “Samarinda Bergerak”?
Penginnya sih nama yang lain, tapi kami sepakat pilih “Samarinda Bergerak”. Kalau saya mendefinisikan “Samarinda Bergerak“, artinya ya kami berharap masing-masing skena underground sama-sama bergerak maju kedepan. Proses menuju kedepan kan memang panjang. Tapi dari situ, kami pengin teman-teman tidak melihat hasilnya, tapi menikmati prosesnya untuk selalu berusaha di jalur DIY.

Gigs “Samarinda Bergerak” sempat bertahan berapa lama?
Dulu “Samarinda Bergerak” pertama dilaksanakan 31 Desember 2003, dan “Samarinda Bergerak” kedua dilaksanakan 18 Juli 2004. Dua gigs itu dilaksanakan hari Minggu di Auditorium Unmul. Jadi sebenarnya baru 2 kali gigs “Samarinda Bergerak” terlaksana.

Pernah tekor enggak gara-gara mengorganisir gigs? Bagaimana proses kalian mengevaluasi gigs yang pernah diselenggarakan?
Alhamdulillah enggak pernah tekor. Pas saja (uangnya, Red.). Evaluasinya ya coba hitung-hitung lagi. Berapa sewa alat lengkap, cari yang murah dan bagus. Kalau uangnya banyak pasti cari alat yang lebih bangus lagi. Kami juga mengatur ulang jumlah band yang akan main. Lalu menetapkan biaya kolektif untuk band yang tampil. Kalau uangnya masih kurang, kami biasanya memperkirakan jumlah penonton yang datang dengan harga tiket yang terjangkau. Kalau masih kurang juga uangnya, baru kami cari dari kolektif perorangan. Sebenarnya, kami tidak memakai uang itu untuk hal lain diluar biaya-biaya yang paling kami anggap pokok untuk berlangsungnya gigs. Contohnya biaya sewa alat, publikasi flyer, stiker tiket, stempel, dan lain-lain. Kalau untuk konsumsi, pulsa, bensin, dan lain-lain, saya biasa pakai uang pribadi.

Kenapa dulu konsep gigs melibatkan semua genre musik underground untuk perform dalam satu wadah?
Maklum, skena underground (khususnya di Kota Samarinda, Red.) di sini teman semua. Kenal satu dengan yang lain. Bahkan sampai di luar kota. Dan dulu memang jarang banget masing-masing skena underground menggelar gigs sendiri sesuai genrenya. Kebanyakan malah perform di festival dan parade musik yang diselenggarakan pemerintah, swasta, kampus, sekolah, bahkan partai. Itu karena gigs underground memang sangat jarang waktu itu. Makanya banyak band-band underground tampil di event-event itu. Sebenarnya, dari gigs “Anti Penindasan” sampai gigs “Samarinda Bergerak“, kami lebih mengutamakan teman-teman hardcore/punk. Biasanya setelah kuota band hardcore/punk terpenuhi, baik dari Samarinda dan dari luar kota, baru kami buka slot untuk teman-teman skena metal.

Kami pengin menampung semua genre di skena underground dan tidak membeda-bedakan. Tapi kami juga punya misi lebih mendorong kreativitas teman-teman hardcore/punk. Dan tentunya saya mohon maaf kepada teman-teman di skena metal karena dulu pernah kecewa.

Bagaimana cara berkomunikasi ke teman-teman yang perform di gigs? Kan alat komunikasi juga cukup terbatas waktu itu…
Email saja banyak yang enggak punya. Kalaupun punya ya enggak bisa cara pakainya. Apalagi jarang yang bisa pakai internet. Beberapa teman komunikasinya via Friendster. Ada juga yang pakai SMS dan telepon rumah. Cara komunikasi lainnya lewat flyer, titip ke teman-teman ditempel dan disebar.

Gigs “Samarinda Bergerak” pernah bikin sejarah, melakukan rekaman secara langsung. Kamu dan teman-teman sampai bawa komputer di lokasi gigs. Ceritain ide awalnya dong…
Itu cuma percobaan. Penasaran awalnya bagaimana hasil rekaman kalau live gigs. Kalau teman-teman hardcore/punk di Balikpapan kan waktu itu banyak yang merilis album saat live record di studio, murah biayanya. Nah, saya penasaran bagaimana live record ketika gigs. Ternyata hasilnya enggak sesempurna live record studio. Jangan ditiru ya. Ha-ha.

Lalu hasil rekaman live waktu itu bagaimana nasibnya? Katanya banyak yang berantakan ya?
Ha-ha. Sangat hancur. Pokoknya kurang bagus kalau live record untuk album. Tapi kalau untuk video live sih no problem. Memang live record di studio lebih bagus. Jujur saja, hanya beberapa band yang lumayan hasil rekamannya. Tapi sebenarnya enggak memuaskan juga. Pernah saya paksakan jadi demo album dalam format kaset tape. Saya coba tawarkan barter dengan rekaman demo album dari studio, langsung ditolak. Ha-ha. Enggak berharga sama sekali demo album itu. Mungkin cocoknya hanya sekadar yang dibagikan gratis untuk teman-teman dikalangan sendiri. Sayangnya, saya juga eggak ada modal untuk diperbanyak saat itu. Saya dulu sangat berharap ada banyak lagi band-band lokal yang rekaman, lebih serius. Sedikit sekali waktu itu yang punya album. Apalagi sekadar mini album.

Dulu kalau gigs berapa uang kolektifnya untuk satu band?
Kira-kira 50 ribu.

Untuk tiket bagaimana?
Dulu kalau enggak salah 3 ribu sampai 5 ribu.

Selama mengorganisir gigs, dalam sehari berapa band paling banyak perform?
Kira-kira 25 band.

Dulu, siapa band lokal yang paling kamu ingat paling sering tampil di gigs?
BH Smile, Kaos Kutang, Ca’adoet, InFact, Devastation, Trali Besi, Figh For Life, SepakxTerjang, Beerbong. (*)

Literasi:
– Gigs adalah istilah acara musik dalam kultur hardcore/punk. Biasanya diorganisir dan menampilkan musisi dari komunitas mereka sendiri.
– Do It Yourself atau DIY secara umum dipahami sebagai kemandirian dalam kultur hardcore/punk.
– Kolektif dalam kultur hardcore/punk adalah sekumpulan orang yang berkumpul untuk tujuan tertentu tanpa ada hirarki di dalamnya. Dalam istilah lokal, kolektif bisa pula berati sumbangan berupa materi.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button